Jumat, 29 Oktober 2010

MENUTUP RAMBUT BAGI WANITA

Telah menjadi suatu ijma’ bagi kaum Muslimin di semua negara
dan di setiap masa pada semua golongan fuqaha, ulama,
ahli-ahli hadis dan ahli tasawuf, bahwa rambut wanita itu
termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di
hadapan orang yang bukan muhrimnya.

Adapun sanad dan dalil dari ijma’ tersebut ialah ayat
Al-Qur’an:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah
mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya, …”
(Q.s. An-Nuur: 31).

Maka, berdasarkan ayat di atas, Allah swt. telah melarang
bagi wanita Mukminat untuk memperlihatkan perhiasannya.
Kecuali yang lahir (biasa tampak). Di antara para ulama,
baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang mengatakan bahwa
rambut wanita itu termasuk hal-hal yang lahir; bahkan
ulama-ulama yang berpandangan luas, hal itu digolongkan
perhiasan yang tidak tampak.

Dalam tafsirnya, Al-Qurthubi mengatakan, “Allah swt. telah
melarang kepada kaum wanita, agar dia tidak menampakkan
perhiasannya (keindahannya), kecuali kepada orang-orang
tertentu; atau perhiasan yang biasa tampak.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Perhiasan yang lahir (biasa tampak)
ialah pakaian.” Ditambahkan oleh Ibnu Jubair, “Wajah”
Ditambah pula oleh Sa’id Ibnu Jubair dan Al-Auzai, “Wajah,
kedua tangan dan pakaian.”

Ibnu Abbas, Qatadah dan Al-Masuri Ibnu Makhramah berkata,
“Perhiasan (keindahan) yang lahir itu ialah celak, perhiasan
dan cincin termasuk dibolehkan (mubah).”

Ibnu Atiyah berkata, “Yang jelas bagi saya ialah yang sesuai
dengan arti ayat tersebut, bahwa wanita diperintahkan untuk
tidak menampakkan dirinya dalam keadaan berhias yang indah
dan supaya berusaha menutupi hal itu. Perkecualian pada
bagian-bagian yang kiranya berat untuk menutupinya, karena
darurat dan sukar, misalnya wajah dan tangan.”

Berkata Al-Qurthubi, “Pandangan Ibnu Atiyah tersebut baik
sekali, karena biasanya wajah dan kedua tangan itu tampak di
waktu biasa dan ketika melakukan amal ibadat, misalnya
salat, ibadat haji dan sebagainya.”

Hal yang demikian ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dari Aisyah r.a. bahwa ketika Asma’ binti Abu
Bakar r.a. bertemu dengan Rasulullah saw, ketika itu Asma’
sedang mengenakan pakaian tipis, lalu Rasulullah saw.
memalingkan muka seraya bersabda:

“Wahai Asma’! Sesungguhnya, jika seorang wanita
sudah sampai masa haid, maka tidak layak lagi bagi
dirinya menampakkannya, kecuali ini …” (beliau
mengisyaratkan pada muka dan tangannya).

Dengan demikian, sabda Rasulullah saw. itu menunjukkan bahwa
rambut wanita tidak termasuk perhiasan yang boleh
ditampakkan, kecuali wajah dan tangan.

Allah swt. telah memerintahkan bagi kaum wanita Mukmin,
dalam ayat di atas, untuk menutup tempat-tempat yang
biasanya terbuka di bagian dada. Arti Al-Khimar itu ialah
“kain untuk menutup kepala,” sebagaimana surban bagi
laki-laki, sebagaimana keterangan para ulama dan ahli
tafsir. Hal ini (hadis yang menganjurkan menutup kepala)
tidak terdapat pada hadis manapun.

Al-Qurthubi berkata, “Sebab turunnya ayat tersebut ialah
bahwa pada masa itu kaum wanita jika menutup kepala dengan
akhmirah (kerudung), maka kerudung itu ditarik ke belakang,
sehingga dada, leher dan telinganya tidak tertutup. Maka,
Allah swt. memerintahkan untuk menutup bagian mukanya, yaitu
dada dan lainnya.”

Dalam riwayat Al-Bukhari, bahwa Aisyah r.a. telah berkata,
“Mudah-mudahan wanita yang berhijrah itu dirahmati Allah.”

Ketika turun ayat tersebut, mereka segera merobek pakaiannya
untuk menutupi apa yang terbuka.

Ketika Aisyah r.a. didatangi oleh Hafsah, kemenakannya, anak
dari saudaranya yang bernama Abdurrahman r.a. dengan memakai
kerudung (khamirah) yang tipis di bagian lehernya, Aisyah
r.a. lalu berkata, “Ini amat tipis, tidak dapat
menutupinya.”

Konsep Pernikahan dalam Islam

Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh.



KATA PENGANTAR

Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.


Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya.

Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.

Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar’i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak.

Melalui risalah singkat ini. Anda diajak untuk bisa mempelajari dan menyelami tata cara perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Anda akan diajak untuk meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat yang berkepanjangan dan melelahkan.

Mestikah kita bergelimang dengan kesombongan dan kedurhakaan hanya lantaran sebuah pernikahan ..?
Na’udzu billahi min dzalik.

Wallahu musta’an.

MUQADIMAH

Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.

Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al-Baqarah : 30).

Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON GHOLIIDHOO), sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (An-Nisaa’ : 21).

Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.

Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.

Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN

Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya.

Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Ruum : 30).

A. Islam Menganjurkan NikahIslam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).

B. Islam Tidak Menyukai MembujangRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat”. (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).

Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :
“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab”.Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.

Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.

Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!”.

Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:
“Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(An-Nur : 32).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :
“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu).

Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pernah berkata : “Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan”. (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul ‘Arus hal. 20).
TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM

1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi

Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur

Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).

3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang IslamiDalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (Al-Baqarah : 229).

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. (Al-Baqarah : 230).

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal :
a. Harus Kafa’ah
b. Shalihah a. Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.

Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).
“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).

Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175).

b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur’an wanita yang shalihah ialah :
“Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)”. (An-Nisaa : 34).

Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :
“Ta’at kepada Allah, Ta’at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta’at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta’at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya”.

Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat. 4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah

Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa’i dengan sanad yang Shahih).

5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).

Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.

Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :

1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).

2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.

Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.

3. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya
diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).

Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa”. (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa’id Al-Khudri).

SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN 1. Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya “Berpacaran” terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.

Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk
menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram. 2. Tukar Cincin
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani)

3. Menuntut Mahar Yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.

Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwa’ul Ghalil 6, hal. 347-348).

4. Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.

Sungguh sangat ironis…!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. (Al-Maaidah : 50).

Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali-Imran : 85).

5. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.Dari Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa’ Wal Banin. ‘Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”.
‘Aqil menjelaskan :
“Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum” (= Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).

Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah :
“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”

Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
‘Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do’a : (Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir) = Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148).

6. Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya. 7. Pelanggaran Lain
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.

KHATIMAH

Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :
“Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-Ruum : 21).

Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan
kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya
masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla’an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.

Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.

Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam.
Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Ali-Imran : 19).
“Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Furqaan : 74)

Amiin. Wallahu a’alam bish shawab.

===================================================================

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.

Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.

(QS.At-Thalaq:2-6)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

(QS.Ali-Imraan:102)

Senin, 25 Oktober 2010

Ciri-Ciri Iman Yang Sesungguhnya

Firman Allah di dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah 177 ;

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat , kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya , anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir ( yng memerlukan pertolongan ) dan orang-orang yang meminta-minta, dan ( memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang- orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”

Dari ayat itu dapat disimpulkan bahwa kebajikan itu adalah :

Pertama; Beriman kepada Allah.

Kita harus yakin bahwa siang dan malam kita ini diurus dan diawasi oleh Allah. Seperti yang diungkapkan Surat Al Baqarah 255:

“ Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (mahluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit da di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya ? Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar “.

Kedua; Percaya kepada malaikat

Setiap manusia dijaga oleh malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya siang dalam malam bergiliran. Yakini bahwa Allah mengutus malaikat-malaikat-Nya untuk menjaga kita dari muka dan dari belakang atas perintah Allah. Merekapun mencatatkan baik perbuatan dosa maupun perbuatan baik kita. Bagi mereka, tidak ada istilah tutup buku, lupa atau berbagai alasan lainnya untuk tidak mencatat amalan kita. Percaya kepada malaikat –malaikat itu menimbulkan kewaspadaan kita dalam bertindak, kita harus waspada bahwa ada yang mencatat amal perbuatan kita.

Ketiga; Percaya kepada kitab-kitab

Sebagai umat Islam, kita diwajibkan percaya kepada Al Qur’an, kita harus percaya bahwasannya Al Qur’an itu tidak ada tandingannya,. Al Qur’an adalah pedoman dan penerangan supaya kita bahagia baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Bila kita ingin bahagia di dunia dan di akhirat, maka kajilah dan bacalah Al Qur’an dengan benar dan amalkan segala isi yang terkandung di dalammnya. Jangan sampai kita lebih mengutamakan bacaan yang lain selain daripada membaca Al Qur’an. Kita merasa ketinggalan zaman ketika sehari saja tidak membaca koran atau mendengar berita dari televisi, tetapi kita tidak pernah merasa rugi, ketika sehari saja kita tidak membaca Al Qur’an.

Jadi percaya kepada kitab itu dengan cara meyakini bahwa tidak ada saingan dari kitab Al Qur’an yang diturunkan oleh Allah ini. Inilah yang Maha Penting, Maha Benar, inilah Al Qur’an kebenaran dari Allah, oleh karena itu harus selalu dinomorsatukan untuk dibaca, dikaji, diyakini dan diamalkan seikhlas-ikhlasnya. Jangan sampai Al Qur’an hanya menjadi pajangan di atas lemari. Bacalah selalu Al Qur’an itu, kajilah, tumbuhkanlah rasa ingin tahu terhadap isi Al Qur’an.

Keempat : Percaya kepada para Nabi

Allah menurunkan Nabi-nabi untuk menyebarkan syariat Allah kepada manusia. Kita pun harus mempercayai, bahwa apa yang dilakukan oleh rasul itu harus dilakukan oleh kita. Kita harus meniru akhlak Rasul, meniru cara ibadah rasul. Percaya kepada para nabi, bukan hanya percaya tetapi harus diwujudkan di dalam kehidupan kita. Kepercayaan kita kepada rasul itu harus tergambar dan tercermin dalam kehidupan kita, demikianlah iman yang sebenarnya.

Kelima : Memberikan harta yang dicintainya

Mengapa harus kerabat-kerabat dulu?. Agama Islam akan dianggap tidak sempurna jika yang diutamakan orang lain, sementara saudara sendiri dilupakan. Kalau demikian halnya, dapat kita bayangkan apa anggapan saudaranya dan orang lain terhadap Islam bila kerabatnya dilupakan. Setelah karib-kerabat, kita berikan harta yang kita cintai itu kepada anak-anak yatim, jangan sampai mereka diambil oleh agama lain. Setelah anak yatim kita memberi harta kepada orang-orang miskin dan orang yang minta-minta (kepada orang yang meminta-minta, kita harus memberi dengan selektif.).

Keenam : Dan memerdekakan hamba sahaya

Sekarang hamba sahaya sudah tidak ada, yang setingkat dengan hamba sahaya sekarang ini mungkin bawahan kita, jika kita menjadi atasan, seperti pembantu atau karyawan kita. Maksud dari memerdekakan hamba sahaya yaitu dengan cara menghargai dia sebagai manusia, jangan sampai mereka merasa tertekan jiwanya. Akhir-akhir ini banyak kejadian disekeliling kita, kita menyaksikan pembantu yang disiksa, salah sedikit saja dibentak, dikata-katai dengan bahasa kotor dan sebagainya. Kita harus menyadari bahwasannya merekapun adalah makhluk Allah, ciptaan Allah yang sama dengan kita. Kita seharusnya bersyukur dan berkata kepada diri kita sendiri: “Alhamdulillah saya ditakdirkan menjadi orang yang kaya, yang bisa menggaji dia untuk bekerja kepada saya.

Oleh karena itu rasa syukur kita wujudkan dengan cara menyayangi mereka, memperhatikan nasib mereka. Jika mereka buta huruf, kita didik mereka supaya pandai membaca dan menulis. Jika mereka kurang berpendidikan agama , kita ajari mereka cara membaca Al Qur’an, sebab merekapun makhluk Allah. Merekapun mempunyai kewajiban untuk beribadah kepada Allah, jangan kita biarkan mereka celaka dunia dan akhirat. Waktu shalat kita perhatikan, jangan sampai kita memelihara shalat kita sendiri tetapi pembantu dilarang shalat karena alasan kerja. Kita harus mampu menyelamatkan mereka karena ciri seorang mukmin menurut sabda rasul adalah sebagai berikut :

“ciri orang yang beriman adalah yang mampu menyelamatkan mukmin yang lain dengan lidah dan tangan kita.”

Menyelamatkan mukmin yang lain dengan lidah kita, yaitu dengan cara menasehati dan mengajari mereka dengan ilmu agama atau ilmu pengetahuan umum. Menyelamatkan mukmin yang lain dengan perbuatan kita yaitu dengan cara memberikan contoh yang baik kepada para karyawan dan bawahan kita.

Ketujuh : Mendirikan shalat

Didalam surat ini dikatakan yang mendirikan shalat, bukan hanya melaksanakan shalat. Ketika shalat kita tidak pernah berbohong, maka setelah shalat pun jangan berbohong. Itulah makna mendirikan shalat,. ketika shalat kita tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak berguna, maka setelah shalat pun jangan melakukan hal-hal yang tidak berguna seperti jahil, mengambil hak orang. Waktu shalat adalah pembaktian kepada Allah, maka setelah shalatpun selalu yang diingat adalah pembaktian kepada Allah.

Melaksanakan Shalat adalah melaksanakan perintah Allah, ketika selesai shalatpun haruslah kita mengingat perintah-perintah Allah untuk dilaksanakan. Itulah salah satu ciri tawakal.

Shalat adalah salah satu dari Rukun Islam yang merupakan satu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan walaupun dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan ataupun hal lainnya.

Sabda Rasul : “Shalat itu adalah tiangnya agama”. (Asholaatu imaduddin)

Bila seseorang sudah meninggalkan shalat, maka ia dinilai “kufur”. Hal ini ditegaskan Nabi Saw dalam sabdanya;

“Antara seorang hamba dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat”. (HR. Muslim)

Nabi Saw tidak menshalatkan orang yang mati yang ketika hidupnya tidak shalat. Di akhirat nanti Allah Swt berfirman tentang keadaan orang yang berdosa:

“Apakah yang menyebabkan kamu masuk neraka saqar?”. Mereka menjawab;”kami dahulu termasuk orang-orang yang meninggalkan shalat”.

(Qs. Al Mudatsir 41-43)

Bagi orang yang sedang safar atau dalam perjalananpun hanya ada rukshah atau kelonggaran untuk men-jama atau meng-qashar shalat. Demikian juga bagi orang yang sakit hanya ada kelonggaran dalam rukun shalat, seperti shalat yang mestinya berdiri tapi karena tidak mampu, maka boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring. Bahkan orang yang sedang berperang sekalipun tidak boleh meninggalkan shalat, yaitu dengan adanya shalat khauf.

Shalat yang lima waktu tersebut jangan sampai ditinggalkan, misalnya shalat Ashar dengan alasan sibuk bekerja, rapat, pesta dsb, maka kita akan mendapat peringatan dari Nabi Saw:

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat Ashar dengan sengaja, maka hancur segala (pahala) amalnya”.

Dalam riwayat lain diterangkan,

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat Ashar, ia seperti orang yang dirampok hartanya dan diculik keluarganya (tidak punya apa-apa)”. (HR. Bukhari)

“Sedangkan bagi orang yang tertidur atau yang terlupa shalat, maka hendaknya ia melaksanakan shalat pada saat ia bangun atau pada saat ia ingat”. (HR. Bukhari Muslim)

Akan tetapi mengapa Allah mengatakan dalam Qs. Al Maa’uun 4

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat”.

Ayat ini tentu saja merupakan sebuah peringatan bagi orang yang shalat, bahwa shalat itu tidak sekedar dilaksanakan. Kita sering mendengar peryataan-pernyataan; jangan terlalu mempermasalahkan soal sepele dan furuiyyat, seperti shalat pakai qunut atau tidak pakai, hal tersebut jangan dipermasalahkan. Yang harus dipermasalahkan adalah orang yang tidak mau shalat.

Pernyataan seperti itu tentu sulit diterima seluruhnya, sebab berdasarkan peringatan Allah dalam QS. Al Maa’uun ayat 4 tersebut, ternyata bukan hanya orang-orang yang tidak shalat yang celaka, tetapi orang yang biasa shalatpun bisa celaka.

Ada dua variable yang menjadi penyebab orang yang shalat bisa celaka, yakni yura’un (riya) dan sahun (lalai).

Riya yang oleh Nabi Saw disebut dengan syirik al ashgar (syirik kecil) adalah kebalikan dari ikhlas. Riya merupakan variable pertama penyebab tidak diterimanya shalat seseorang, sebab tidak ada satu amalpun yang diterima oleh Allah tanpa keikhlasan.

Allah berfirman:

“Dan jika kamu berbuat syirik, maka terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (Az Zumar 65)

Nabi Saw juga mengingatkan:

“Janganlah kamu campuradukkan antara ketaatan kepada Allah dengan keinginan untuk mendapat pujian manusia, nanti hancur amalmu”.

(HR. Ibnu Hibban)

Firman Allah dalam QS. Al Bayyinah ayat 5

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat…”

Lurus berarti jauh dari syirik dan jauh dari kesesatan.

Variable kedua adalah sahun, yang bisa bermakna lalai. Ketika seseorang sedang melaksanakan shalat, pikiran dan hatinya tidak konsentrasi (tidak khusyu), ia tidak sadar bahwa ia sedang shalat, hal itu karena godaan syetan pada dirinya.

Nabi Saw mengingatkan:

“Apabila dikumandangkan adzan, syetan lari terbirit-birit bahkan terkentut-kentut sampai ia tidak mendengar adzan itu. Apabila adzan selesai syetan datang lagi dan apabila dikumandangkan iqamat, syetan lari lagi dan apabila selesai iqamat, syetan datang lagi dan menyelinap kedalam jiwa manusia dan berkata:”Ingatlah kamu kesana, ingatlah kamu kesini”, sehingga orang itu tidak tahu lagi berapa rakaat ia shalat”. (HR. Bukhari)

Sahun juga bisa bermakna melalaikan aturan tata laksana shalat, tidak mengikuti contoh yang ditunjukkan oleh Nabi Saw. Sebagaimana yang diintruksikannya,

“Shalatlah kamu seperti kalian mendapatkan aku shalat”. (HR. Bukhari)

Tidak sedikit orang yang hanya berprinsip dalam soal niat “yang penting ibadah itu ikhlas”, tanpa mau memperhatikan atau mempedulikan masalah kaifiyyat. Masalah kaifiyyat shalat sering dianggap sepele, padahal Allah Swt telah mengingatkan kita dalam firman-Nya,

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”. (Qs. An Nur 63)

Nabi juga mengingatkan dalam sabdanya,

“Hendaklah kamu takut jika kamu mengangkat kepala mendahului imam, Allah akan mewujudkannya di akhirat sebagai keledai”. (HR. Bukhari)

Hadits ini memberi peringatan kepada kita, bahwa meskipun seseorang melaksanakan shalat berjamaah yang nilainya jelas lebih utama daripada shalat munfarid/sendiri tetapi kalau ia tidak mengikuti kaifiyyat shalat berjamaah menurut petunjuk Nabi Saw, bahwa imam itu mestinya diikuti jangan didahului, di akhirat nanti bisa menjadi manusia yang merugi!.

Shalat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab di akhirat kelak, Sabda Rasul Saw; “Awwalu maa yuhaasabul abda alaihi ashshalatu”

Shalat juga bisa dijadikan barometer amal-amal yang lain. Khalifah Umar Ibnu Al Khatab diriwayatkan pernah mengirim surat kepada para gubernur yang diangkatnya. Didalam pesannya umar menyatakan:

“Sesungguhnya tugas kalian sebagai gubernur yang paling utama di mataku adalah shalat. Barangsiapa memelihara shalat, berarti ia telah memelihara agamanya, barangsiapa lalai terhadap shalat, terhadap urusan yang lain akan lebih lalai”.

Shalat yang baik dan benar dijanjikan Allah dan Rasul-Nya akan menjadi penghapus atas segala dosanya. Allah berfirman,

“Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam, sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk”. (Qs. Hud 114)

Dalam sebuah dialog dengan para sahabatnya, Nabi Saw mengumpamakan shalat yang lima waktu seperti mandi lima kali.

Nabi Saw bertanya:”Bagaimana pandanganmu jika pintu rumah salah seorang diantara kamu ada sumur, lalu mandi sehari 5x, bagaimana kotoran di badan orang itu?”, para sahabat menjawab:”Tidak akan tersisa kotoran itu sedikitpun”.

Nabi Saw bersabda:”Demikian juga perumpamaan shalat yang lima waktu, Allah akan menghapus dengannya dosa-dosanya”. (HR. Bukhari)

Namun mandi yang bagaimana yang akan mempu membersihkan kotoran di badan itu?, jika mandinya tidak bersabun, tidak menggosok-gosok badan, bahkan airnya diobok-obok dibuat keruh, tentu hal itu bukan membersihkan kotoran di badan. Demikian juga halnya shalat, jika dilaksanakan dengan riya atau tidak ikhlas, tidak khusyu, tidak benar, apalagi dicampur dengan perbuatan bid’ah, tentu shalat itu tidak akan menjadi penghapus dosa, tetapi sebaliknya akan menambah dosa.

Oleh karena itu usahakan shalat kita betul-betul mengikuti (mencontoh) shalatnya Rasulullah Saw dan dilaksanakan dengan penuh keikhlasan serta kekhusyuan. Jadikanlah shalat itu sebagai kebutuhan kita dalam hidup ini. Oleh sebab itu mari kita bersama-sama memeriksa lagi shalat kita masing-masing. Apakah shalat kita sudah sesuai belum dengan shalat Rasul, supaya shalat kita betul-betul menjadi tiangnya agama serta nanti kalau dihisab mendapat hisaban yasiro / hisaban yang enteng.

Sabda Rasulullah Saw: Idzaa quntum ilashalaati fasbigghil wudlu tsummastaqbalil qiblata fakabbir.

“Apabila engkau mau berdiri shalat, hendaklah engkau sempurnakan wudlu, kemudian engkau menghadap kiblat, lalu engkau takbir”. (HR. Muslim)

Dengan hadits ini jelas bahwa syarat shalat adalah wudlu yang benar.

Setelah selesai wudlu, mulailah kita shalat dengan berdiri menghadap kiblat.

Kedelapan : Menunaikan zakat

Zakat bukan hanya di bulan ramadhan saja, kita harus meneliti dan memeriksa harta yang kita punya, mungkin saja harta kita perlu untuk dizakati.

Kesembilan : menepati janji apabilla berjanji

Kita harus mengingat dan menepati janji kita, bila kita hendak berjanji kita harus memperhitungkan apakah kita mampu menepati janji kita. Sekiranya kita tidak mampu menepati janji, janganlah kita membuat perjanjian karena itu akan menjadi kebiasaan bagi kita untuk ingkar janji dan akhirnya celakah diri kita.

Kesepuluh : Dan orang-orang yang sabar

Kita harus sabar menerima bahwa segala sesuatu yang menimpa kita, sesuatu yang kita alami, datangnya dari Allah, baik itu kesempitan dalam harta atau hal yang lainnya.

Sabar dalam menghadapi penderitaan, apapun penderitaan yang menimpa diri kita itu datangnya dari Allah. Kita harus menjiwa “Innalillahi wa inna ilahiroojiun.” Semua datangnya dari Allah dan akan kembali kepada Allah, Insya Allah keimanan kita tidak akan berkurang melainkan akan meningkat terus. Begitu juga orang-orang yang sabar dalam peperangan, apabila dalam peperangan maka kita pun harus bersabar, sehingga Allah berfirman: “mereka itulah yang benar-benar imannya”.

Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa

Orang-orang yang benar imannya sekaligus menjadi orang yang bertakwa, artinya orang itu telah melaksanakan isi dari Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 177, orang itu akan masuk syurga atau calon ahli syurga.

Setelah mengkaji QS. Al Baqarah 177, bukan hanya sekedar iman saja tetapi melaksanakan segala perintah Allah dan kewajiban-kewajiban yang ada di dalam Al Qur’an. Kalau sudah demikian halnya barulah dikatakan iman yang sebenar-benarnya. Janganlah kita meniru iblis yang percaya kepada Allah, tetapi ia membangkang kepada perintah-perintah Nya, kelakuan seperti itu bukanlah iman melainkan murtad.

Mudah-mudahan kita mendapat bimbingan dari Allah Sw dan menjadi orang yang benar dalam keimanan serta menjadi orang yang bertaqwa, aamiin.

By ; Admin

Ditulis dalam Tauhid

Upaya Syetan Dalam Menjerumuskan Manusia

Hampir seluruh umat Islam sering terkecoh dan tertipu oleh bujuk rayu syetan, sehingga banyak yang terperosok ke dalam jebakannya itu, kenapa bisa sampai demikian?.

Karena kita sebagai manusia tidak mau tahu terhadap aturan Allah yaitu Al Qur’an, dan syetan ataupun Iblis sangat berani jangankan kepada manusia, menentang perintah Allah pun berani. Bahkan dengan lantangnya meminta izin kepada Allah untuk menjerumuskan manusia / anak cucu Adam, padahal kita sebagai manusia tidak punya salah apa-apa terhadap mereka begitupun Nabi Adam.

Dendam iblis itu sampai akhir zaman tidak akan putus!, kenapa manusia mudah tertipu dan terkecoh oleh syetan?,

Karena syetan diberi keleluasaan oleh Allah untuk menjerumuskan manusia. Tetapi Allah pun memberitahukan kepada kita bagaimana usaha pencegahannya supaya syetan itu tidak mampu menyesatkan diri kita.More…

Dalam QS. Al Hijr 39-40

Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,

kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”.

Dengan tekad yang kuat, bahkan lapor dulu kepada Allah akan menjadikan manusia berbuat maksiat tetapi memandang baik perbuatannya ituc

Lihatlah sekarang, berbuat kemaksiatan dipandangnya baik. Orang yang berbuat maksiat dan menentang perintah Allah sekarang itu malah disanjung, dimunculkan, dibikin mahsur dan diberi peluang untuk mencari kekayaan, dibikin bangga supaya banyak mencari teman dan kawan.

Mereka itu syetan berbentuk manusia yang berupaya mencari teman sebanyak-banyaknya. Orang yang tertipu oleh mereka adalah orang yang tidak mukhlis dalam beribadah kepada Allah.

Bagaimana mereka akan mukhlis kalau aturan Allah tidak dikuasai oleh dirinya.

Jangan heran banyak manusia yang tertipu oleh syetan karena kita tidak mau tahu akan aturan Allah. Padahal dari ayat tersebut di atas bahwa orang yang mukhlis lah yang tidak bisa disesatkan dan dikuasai oleh syetan dalam mentaati aturan Allah.

Begitupun dalam QS. Shaad 82-83

Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,

kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.”

Tekad iblis begitu kuat sampai bersumpah dengan kekuasaan Allah.

Jadi upaya kita agar tidak terjebak oleh tipu daya syetan itu adalah kita harus menguasai petunjuk Allah Al Qur’an dan Sunnah Rasul, tanpa kita menguasai petunjuk Allah kita akan selalu dijebak dan dijerumuskan oleh syetan atau iblis.

Allah memberikan solusinya kepada kita firman Allah adalah suatu jawaban atas segala permasalahan manusia. Syetan menggoda, Allah memberikan jalannya.

Oleh karena itu solusi yang terbaik bagi kita untuk melindungkan diri dari gangguan syetan adalah hanya kepada Allah. Adapun ayat Qur’an itu adalah petunjuk dari Allah agar kita tahu bagaimana caranya untuk melindungkan diri kepada Allah.

Bagaimana upaya kita agar terhindar dari tipu daya syetan?,

QS. An Nahl 99-100

“Sesungguhnya syaitan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya.”

Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.”

Dari mana kita tahu iman?

Dari mana kita tahu tawakal?

Tentu kita semua tahu iman dan tawakal itu dari Al Qur’an, tanpa Al Qur’an kita tidak akan tahu apa artinya iman dan apa artinya tawakal itu.

Orang yang membaca Al Qur’an khatam berkali-kali tapi tidak dikaji isinya, dia tidak akan tahu apa iman itu yang sebenarnya, yang diketahuinya iman itu hanya percaya sampai disitu saja pengetahuan tentang iman. Begitupun tawakal yang diketahuinya adalah pasrahnya.

Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.

Siapa yang terjebak mengikuti langkah syetan dan menjadikan syetan sebagai pemimpin?

Mereka ialah orang yang tidak tahu persis apa perintah Allah dan apa yang dilarang-Nya.

Allah memerintahkan A, justru syetan membawa ke arah B dan mereka yang terjebak malah mengikuti langkah syetan.

Zaman sekarang dimunculkan orang yang berbuat salah dan menentang Al Qur’an, yang merusak akhlak justru disanjung-sanjung.

Orang yang menyuruh masalah agama apalagi Al Qur’an justru dianggap tabu tidak sesuai dengan kemoderan zaman, yang datang dari Negara kafir justru ditiru oleh mereka. Coba kita lihat sekarang dimana ada orang yang menghargai akan ilmu pengetahuan dan ilmu kesehatan. Makanya jangan heran kalau sekarang musibah dimana-mana, untung tidak dimusnahkan seluruhnya oleh Allah seperti zaman Nabi Nuh ataupun zaman Nabi Sueb.

Korupsi sekarang sudah merajalela, dulu timbangan dan sukatan tidak boleh dikurangi bila dilanggar, dimusnahkan oleh Allah. Zaman Nabi Saleh juga begitu, kaum ad’, samud semua dimusnahkan.

Kesalahan yang dibikin oleh manusia zaman dahulu sekarang semuanya ada, tapi mereka merasa benar. Inilah jebakan syetan mereka semua terjebak merasa benar padahal perbuatannya bertentangan dengan firman Allah. Akidah sudah kotor, sudah jauh dari tuntunan yang sebenarnya. Ayat Al Qur’an sudah berubah fungsi menjadi mantera, ilmu pengasih dijadikan ilmu kekebalan dan lain sebagainya bukan sebagai petunjuk.

Itulah tipu daya iblis sudah mengena kepada manusia akibat dari tidak mukhlisnya dalam beribadah kepada Allah. Padahal Allah sudah memberitahukan kepada kita bahkan iblis sendiri berbicara kepada Allah yang tercantum di dalam firman-Nya “kecuali yang mukhlis” yang tidak dapat dikuasainya.

Kita semua mengaku orang islam, selalu berlindung diri kepada Allah dari godaan syetan, tetapi tidak mau mempelajari taktik dan strategi syetan dalam menggoda manusia. Kalau seseorang menguasai sesuatu bidang ilmu, maka orang tersebut tidak akan tertipu dalam bidang ilmu tersebut, seperti orang yang belajar ilmu hukum dia tidak akan tertipu oleh masalah hukum.

Begitupun kita kalau tidak ingin ditipu oleh iblis kita harus mengetahui dan menguasai jalan Allah karena syetan akan selalu menjerumuskan dan menyesatkan diri kita dari jalan Allah dan Rasul-Nya.

Kalau kita sudah tahu persis firman Allah, maka Allah akan memberikan upaya kepada kita bagaimana caranya, bukan hanya dengan bacaan ayat Qur’an untuk mengusir syetan, tapi kita mohon perlindungan kepada Allah.

Hadits riwayat Ibnu ajlan dan Farwah,

“Maukah aku tunjukkan kepadamu tiga buah surat yang belum pernah diturunkan di dalam kitab taurat, kitab Injil, kitab Zabur dan juga didalam kitab Furqan hal yang semisal dengannya, yaitu Qul Huwallahu Ahad (Al Ikhlas), Qul A’uzu Birabbil Falaq (Al Falaq) dan Qul A’uzu Birabbin Nas (An Nas).”

Tiga surat tersebut tidak ada di dalam kitab-kitab samawi para Nabi sebelumnya kecuali di dalam Al Qur’an. Diberitahukan kepada kita untuk apa sebenarnya?, apa manfaat dan fungsi dari surat-surat tersebut?.

QS. Al A’raaf 200-202

200. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

201. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.

202. Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan).

Apabila kita ditimpa godaan syetan maka berlindunglah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Yakini itu bahwa Allah Maha Mendengar apa yang kita butuhkan.

Kalau mengaku orang yang bertaqwa apabila merasa diganggu oleh syetan seperti perasaan was-was, maka ingatlah akan kesalahan-kesalahan kita dan iringi dengan bertaubat kepada Allah. Jangan hanya ucapan saja “istigfar” tapi perbuatan salah dilakukan terus.

Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan).

Waspadailah mereka itu banyak teman-temannya yaitu orang-orang kafir, fasik. Mereka membantu syetan-syetan dalam menyesatkan manusia dan mereka tak henti-hentinya menyesatkan umat Islam. Teman-teman mereka itu dari jenis manusia sekarang berkeliaran dimana-mana tak henti-hentinya ingin menyesatkan orang-orang yang beriman. Untuk itu kita harus selalu waspada.

Tanpa mengetahui petunjuk Allah, tanpa meyakini bahwa firman Allah ini adalah petunjuk hidup, kebenaran dari Allah yang harus kita patuhi, kita akan mudah disesatkan oleh syetan.

Kita harus yakin betul bahwa tempat berlindung kita adalah Allah Tuhan Semesta Alam yang tiada tandingannya. Jangan bingung, jangan bimbang, jangan ragu, jangan cemas dan jangan was-was. Hanya kepada Allah lah kita berlindung Tuhan semesta alam, Tuhan Yang Maha Esa yang tidak ada bandingannya.

Qs. Al Falaq 1-5

1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,

2. dari kejahatan makhluk-Nya,

3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,

4. dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,

5. dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”.

Qs. Al Falaq dan An Nas adalah Ta’audz yang lebih akurat dan lebih tertuju. Kita sering membaca “A’udzubillahi minassaitoonirrajiim” (aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk), itu adalah mohon perlindungan diri kepada Allah secara umum.

Sekarang lebih spesifik lagi oleh Allah diarahkan ta’audz kita ini.

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,

dari kejahatan makhluk-Nya,

Kita mohon perlindungan diri kepada Allah dari segala bentuk jenis kejahatan makhluk-Nya, seperti penyakit demam berdarah, flu burung dan penyakit yang lainnya serta berlindung diri dari segala kejahatan seperti pencuri dan bentuk kejahatan lainnya, itu semua adalah dari makhluk-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan makhluk yang Allah ciptakan.

dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,

Biasanya kejahatan muncul ketika gelap gulita agar tidak kelihatan dan manusia pun kebanyakan takut apabila gelap telah datang, padahal mengakunya orang beriman.

Kita harus yakin bahwa Allah mengurus makhluk-Nya tanpa pernah berhenti.

dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,

sekarang banyak dukun-dukun santet dan sebagainya, tapi kenapa banyak orang yang meminta tolong kepada dukun-dukun tersebut padahal Allah Yang Maha Kuasa.

dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki

sampai sedemikian teraturnya Allah menata segala kejahatan yang akan menimpa dalam kehidupan manusia. Kita disuruh untuk berlindung kepada Allah.

Kita tidak sadar kalau Al Falaq itu adalah ta’audz karena ada kata “Qul”. Ini adalah ta’audz yang lebih spesifik, minta perlindungan untuk masalah fisik dari kejahatan fisik, kejahatan makluk, kejahatan diwaktu gelap, kejahatan yang meniup dari buhul-buhul dan kejahatan dari orang yang dengki.

Kalau kita yakin bahwa yang melindungi kita ini adalah Allah, kenapa kita harus takut?.

Gembleng ketawakalan kita kepada kepada Allah!, bila masih punya perasaan takut.

Begitupun dalam Qs. An Nas 1-6

1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.

2. Raja manusia.

3. Sembahan manusia.

4. dari kejahatan (bisikan) syaitan yang bisaa bersembunyi,

5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.

6. dari (golongan) jin dan manusia.

Surat ini adalah mohon perlindugan kepada Allah dari gangguan terhadap rohani kita.

Kurang apa Allah?

Tuhan manusia!,

Siapa yang yang bisa menandingi Allah, kalau kita sudah melindungkan diri kepada-Nya baik secara fisik maupun batiniah kita, tak akan ada yang mampu mencelakakan diri kita.

Disamping itu untuk lebih meyakinkan diri kita Allah menurunkan firman-Nya dalam Qs. Ar Rad 11

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Setiap manusia dijaga oleh malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya siang dalam malam bergiliran. Yakini bahwa Allah mengutus malaikat-malaikat-Nya untuk menjaga kita dari muka dan dari belakang atas perintah Allah.

Apakah mungkin Allah kecolongan mengutus malaikat?, pasti Allah mengutus malaikat yang tidak mungkin bisa dikalahkan oleh syetan.

Kalau kita meyakininya kita akan merasa aman dan tentram, disamping Allah melindungi diri kita juga Allah mengutus malaikat untuk senantiasa mnjaga siang dan malam, mereka menjaga kita bergantian.

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri

Kalau sekarang kita mempunyai sifat penakut, tetapi kalau tidak mau merubah sifat penakut itu maka tetap saja kita akan menjadi penakut, padahal Allah telah memberikan penerangan-Nya. Kita ini adalah ciptaan Allah, Allah menciptakan manusia istimewa. Diberikannya petunjuk berupa Al Qur’an, bahwa iblis itu akan senantiasa menggoda, tapi oleh Allah diberikan solusinya. Asal kita mau menjadikan Al Qur’an sebagai petunjuk hidup.

Jadi membaca Al Qur’an itu harus mau mengerti apa yang dibacanya dan apa kandungan isinya. Sering tamat membaca Al Qur’an tetapi tidak tahu isinya, celakalah kita ini!, meskipun dapat pahala dari membacanya tapi karena tidak tahu isinya maka banyak yang dilanggar dari isi Al Qur’an itu, dikarenakan tidak mengerti apa yang dibacanya.

Kita ini diberikan jalan keselamatan oleh Allah berupa Al Qur’an, tetapi kalau tidak mau mengerti makna dan isinya tidak mungkin kita akan selamat. Begitupun kita harus mampu merubah diri kita jangan berdiam diri dalam kebodohan, jangan berdiam diri dalam kelemahan iman, berusahalah ubah diri kita agar menjadi orang yang beriman kuat. Tanpa usaha kita untuk merubah tidak mungkin akan ada perubahan. Jadi kita sendiri yang harus berusaha.

Sering berbuat salah…. Rubah dan tinggalkan perbuatan itu!.

Kenyataannya banyak orang membaca Al Falaq dan An Nas hanya untuk mengusir syetan, padahal syetan tidak takut terhadap bacaan Qur’an.

Kepada Allah lah kita ini berlindung diri bukan kepada yang lain. Kita memohon pertolongan dan mohon perlindungan kepada Allah sebab Allah lah yang menciptakan segala sesuatu. Allah yang mewajibkan kita ibadah dan Allah lah yang akan menerima ibadah kita.

Sebagai bukti bahwa syetan itu tidak takut dengan bacaan-bacaan Al Qur’an, Rosul memberikan pelajaran berupa do’a. berdo’a untuk berlindung dari gangguan syetan, itu menandakan bahwa syetan itu takutnya oleh perlidungan Allah. Syetan tidak bisa ditakut-takuti dengan bacaan Al Qur’an. Jadi yang dibutuhkan oleh kita adalah perlindugan dari Allah.

Hadist Riwayat Abu Daud

“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari kepikunan dan aku berlindung kepada Engkau dari keruntuhan dan tenggelam dan aku berlindung kepada Engkau agar terhindar dari rasukan atau godaan syetan saat hendak mati”

dan dalam Qs. Al Mu’minun 97-98

Dan katakanlah: “Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan.

Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.”

Berarti syetan akan menjauh karena kita dilindungi oleh Allah bukan karena takut oleh ayat-ayat Qur’an.

Ada do’a lagi yang sering diucapkan oleh Rasulullah.

“Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syetan yang terkutuk yaitu dari godaan, bisikan dan tiupannya”.

Kita disuruh untuk berlindung diri keapada Allah dari bisikan dan tiupannya.

“A’udzubika limatillahi minsyarrima khalaq”

ini pun do’a mohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan dimuka bumi.

Rosulullah juga mengajarkan do’a menjelang tidur,

“Dengan nama Allah, aku berlindung kepada Allah dengan membaca kalimah-kalimah-Nya yang sempurna dari murka Allah, siksaan-Nya dan dari kejahatan hamba-hamba-Nya dan dari bisikan-bisikan syetan dan dari kedatangan mereka kepadaku”.

Allah maupun Rosulullah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mohon perlindungan kepada Allah dengan ta’audz yang spesifik seperti surat Al Falaq dan An Nas, maka kita harus semakin timbul keyakinan bahwa kita ini memohon perlindungan kepada Allah, baik kejahatan secara fisik dari syetan ataupun secara batin dari syetan itu sendiri. Sehingga lengkaplah perlindungan Allah kepada kita, tinggal kita meyakininya.

Allah itu Maha Sempurna, tidak pernah cape dan tidak pernah tidur mengurus manusia, ilmu-Nya mencakup bumi dan langit, tidka beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Kurang apa?

Allah sedemikian sayangnya kepada manusia, meskipun iblis meminta kepada Allah untuk menyesatkan manusia, tetapi Allah memberikan caranya untuk melindungkan diri.

Yang heran kenapa banyak orang yang menyuruh untuk mengusir syetan dengan membaca ayat-ayat Qur’an?.

Apabila hanya dengan membaca ayat Qur’an bisa mengusir syetan, maka untuk apa Allah menurunkan Surat Al Falaq dan An Nas.

Kalau syetan takut oleh bacaan Al Qur’an berarti Allah memperlihatkan ketidakadilan-Nya secara nyata, kenapa?

Karena diciptakannya jin dan manusia untuk beribadah kepada Allah, tidak mungkin Allah mewajibkan ibadah kepada jin atau syetan sedangkan yang diwajibkan ibadah merasa takut oleh sumber ibadahnya.

Ini adalah suatu sanggahan yang mudah-mudahan bisa kita pahami sehingga kita yakin betul bahwa perlindungan Allah lah yang harus senantiasa kita mohon.

Sehingga timbul keyakinan dan tidak ada keraguan dan rasa takut terhadap ilmu sihir, santet, hypnotis dan sebagainya, semuanya kecil belaka karena kita dijaga oleh malaikat-malaikat utusan Allah yang gagah, dijaga pula oleh Allah Yang Maha Sempurna yang senantiasa mengurus dan melindungi diri kita tanpa mengenal waktu.

Mudah-mudahan keyakinan kita semakin bertambah.

Bpk. Syarif Hidayat (Yayasan Ishlahul Ummah – Bandung)

CIRI – CIRI ORANG TAQWA

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,
dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (Qs. Al Baqarah 3,4)

DOA ORANG TAQWA
(Yaitu) orang-orang yang berdo`a: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (QS. Ali Imran 16)

Imam Bukhari Menjelaskan;
“Yang dimaksud dengan Taqwa, ialah memelihara jiwa dari kemusyrikan dan segala amal perbuatan yang jelek serta membiasakan segala amal perbuatan yang baik.”

Diantara komponen Taqwa yang terpenting ialah;

1. Kitab tempat rujukan Al Qur’an.
– “Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (Qs. Al Baqarah 2)

- Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata. (Qs. Al Ahzab 36)

2. Iman kepada yang Ghaib

3. Mendirikan Shalat
Syaratnya;
- Tahu Ilmunya
- Beriman dan beritikad baik
- Ikhlas dalam melaksanakannya
- Caranya benar sesuai dengan sunnah Rosul
- Tujuannya hanya semata-mata karena Allah.

4. Infaq
Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim. (Qs. Al Baqarah 254)

5. Yakin kepada Akhirat
- Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (Qs. Al ‘Ala 17)

inilah sebagai tujuan antara, sedangkan tujuan akhiratnya adalah Rahmat dan kehidupan Allah semata-mata.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan;
Rasulullah Saw, bersabda bahwa Allah Swt telah berfirman : “Jerit tangis hamba-Ku yang memohon ampunan lebih nikmat terdengar daripada segala Tasbih yang diucapkannya.”

Khasanah Tarbiyah Dan Dakwah

SYAHADATAIN, dan semuanya jadi baik..

Oleh : Aang Fahruroji, S.Si

POTRET SYAHADAT UMMAT
Keadaan kaum muslimin saat ini memang sangat memprihatinkan, bukan sekedar aspek materi yang minim, dengan gejala kemiskinan yang lekat dengan citra kaum muslimin, tapi juga aspek immateri yang meliputi : pendidikan, kesehatan, kesejahteraan bahkan aspek keyakinan terhadap dien-nya pun sangat lemah.
Bila kita gunakan Alquran sebagai teropong untuk melihat ummat, maka akan kita dapati ummat Islam dewasa ini adalah ummat LAIN, bukan sebagai ummat Alquran yang dilukiskan Allah SWT sebagai ummat terbaik, yang dijelaskan alasan terbaiknya karena mereka menyeru orang berbuat makruf dan mencegah orang bebuat munkar, serta beriman kepada Allah.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kaum muslimin memiliki kelemahan di bidang aqidah, tsaqofah, tarbiyah, manajemen organisasi, dakwah dan akhlak. Kondisi ini berlaku di hampir semua negara-negara Islam/ mayoritas Islam.
Semua ini tak lebih karena kelalaian kaum muslimin yang seharusnya mampu menjadi Khalifah (pengatur) di muka bumi. Kita kehilangan kemampuan dalam menerjemahkan kehendak-kehendak Ilahiyah dalam bentuk yang aplikatif. Padahal alam semesta ini adalah milik Allah sehingga hanya Dia yang dapat mengoperasikan perputaran roda alam ini, sehingga ketundukkan dan kepatuhan kepadaNya adalah mutlak karena walaupun kita membangkang atau tidak melaksanakan kehendakNya –yang menyebabkan kehancuran dan kebinasaan—maka tidaklah berkurang kekuasaanNya.
Sebuah majalah Islam, Suara Hidayatullah, di tahun 90-an telah mengangkat fenomena ini dalam rubrik Kajian Uatama-nya. Disebutkan disana bahwa keadaan ummat yang carut marut ini adalah sebuah cerminan dari kualitas syahadat ummat yang masih sangat rendah, dan sekarang fenomena ini masih terus berlanjut, bahkan semakin menggejala.

MENEMUKAN KEMBALI SYAHADATAIN...
Kenapa ummat Islam terjebak pada situasi ini ? ini tak bukan karena kita semakin kabur dalam melihat visi dan misi mengapa kita diciptakan. Kekaburan visi kita kedepan tercermin dalam kelalaian kita kepada hari akhir yang kekal dan kita hanya sibuk dengan kesenangan dunia yang sifatnya sementara. Kekaburan visi misi mengapa kita diciptakan tercermin dalam kealpaan kita dengan tugas sebagai hamba sekaligus khalifah Allah di muka bumi yang semuanya ini adalah aktualisasi dan realisasi dari kekuasaan Allah yang merupakan penguasa tunggal, dengan kata lain kita sudah kabur dengan ke-tauhid-an kita terhadap Allah. Banyak diantara kaum muslimin yang beridentitas-Islam, mereka membaca syahadat tetapi belum bersyahadat, mereka mengerjakan sholat tetapi belum mendirikan sholat, mereka menunaikan haji tetapi belum berhaji, bahkan mereka memperjuangkan Islam tetapi mereka belum berjuang untuk Islam.
Sesungguhnya perjuangan berat Rosulullah dalam menemukan syahadat telah terlambang dalam peperangan lahir, yang digambarkan dalam bentuk perang fisik melaawan bala tentara pimpinan Abu Sufyan. Sedang peperangan bathin adalah melawan hawa nafsunya sendiri, sesuai sabdanya bahwa jihad akbar adalah jihad melawan hawa nafsu sendiri.
Barulah setelah itu syahadat dalam pengertian sesungguhnya dapat dijumpai oleh segenap umat Islam pada zaman itu. Rosul pun tidak terlalu sulit dalam menebarkan benih-benih syahadat dalam masyarakat Islam. Relatif tidak begitu lama dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun, buah syahadat menampakkan diri berupa tatanan masyarakat Islami yang diidam-idamkan.

NILAI STRATEGIS SYAHADAT
Benarkah syahadatain dapat merubah tatanan masyarakat, yang tadinya jahily menjadi tatanan masyarakat islam? Dimanakah letak strategis syahadatain? Bagi sebagian orang mungkin tak akan percaya bahwa sesungguhnya perubahan itu dimulai dari syahadatain. Tapi fakta sejarah telah membuktikan bahwa rosulullah mengubah dunia dengan landasan awal syahadatain.
Setidaknya ada beberapa nilai strategis syahadatain, yaitu :
1. Pintu gerbang Islam
apa sih bedanya orang Islam dengan kafir ? pakah dari namanya? Robert dengan Hasan? Atau dari wajahynya berjenggot atau tidak? Ternyata ada juga Robert yang beragama islam sedang hasan beragama nasrani dan banyak kaum muslimin yang tidak berjenggot sedangkan penyanyi barat yang kristen berjenggot, bahkan pencuri-pencuri arab yang kafir juga berjenggot.. lalu apa yang membedakannya?yang membedakanya adalah syahadat. Seseorang dikatakan muslim bila dia mengikrarkan syahadatain karena sesungguhnya syahadatain merupakan pernyataan ketundukkan (Islam) itu sendiri.seseorang belum dikatakan muslim bila hanya mengikrarkan Laa Ilaha Ilallah sebab hakikat seorang muslim adalah ketundukan, jika belum tunduk kepada sunnah rosulullah maka belum Islamlah dia (QS 60:13; 59:7).
2. Syahadat merupakan inti ajaran Islam
Islam bila diperas maka akan kelihatan pangkal dan ujungnya merupakan laa Ilaha Ilallah. Dari segala aspek peribadatan ternyata menuju kepada pengabdian kepada Yang Esa, yaitu Allah. Islam mencakup ibadah dalam arti khusus (mahdloh) yang benar-benar ditujukan kepada Allah semata, Islam mencakup Ibadah alam arti luas/umum, muamalah (ghoir mahdloh) yang merupakan konsekuensi dari tugas kholifah dan fungsi kholifah inilah yang merupakan bukti aktuaisasi kekuasaan Allah Yang Maha Besar yang tidak hanya bisa menuruti perintahNya ataupun membangkang, namun juga bisa memilih mana yang baik untuk dia dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu (QS 20:123-124).
3. Syahadatain merupakan Asas perubahan
segala ssuatu yang ada di alam ini apat berubah sesuai dengan sunnatullah kecuali sunnatullah itu sendiri. Namun sesuatu itu ada yang cepat berubah dan ada yang lambat. Pengetahuan dan teknologi mudah sekali berubah, kebudayaan lebih lambat, dan ideologi/keyakinan/akidah susah untuk berubah, sehingga dapat dikatakan manakala ideologi seseorang sudah berubah, maka berubah pula tatanan kehidupan dia (budaya, teknologi, pengetahuan, cara hidup dsb). Demikian pula dengan orang Islam apabila syahadat yang merupakan inti ajran Islam sudah menancap dalam dirinya sebagai akidah, maka berubah pula seluruh aspek kehidupannya seperti halnya seorang Umar bin khottob yang dulunya seorang jahiliyah yang bengis sehingga tega membunuh anak perempuannya sendiri dan bodoh karena menyembah berhala dapat berubah menjadi seorang penyayang yang selalu ronda tiap malam untuk mencari orang yang membutuhkan dan menjad seorang yang pandai sehingga mampu membuat undang-undang sesuai syariat Islam setelah dia bersyahadat. Syahadat inilah yang akan selalu memompa semangat ummat Islam untuk selalu membuat perubahan yang lebih baik (QS 13:11) dan karena inlah orang-orang kafir sangat takut kepadanya.
4. Syahadat merupakan hakikat dakwah para rasul
rasul dilahirkan dari ibu yang berbeda-beda namun mempunyai misi yang sama. Syariat yang dibawa rosul dapat berbeda-beda namun intinya tetap sama yaitu beriman kepaada Allah dan menjauhi thogut.
5. syahadat merupakan keutamaan yang agung
syahadat dapat menyelamatkan dari azab Allah di dunia dan akhirat. Juga menjadi sebab terhapusnya dosa dan maksiat sertta sebab masuknya seseorang kedalam surga dan tidak kekal di neraka.

KANDUNGAN SYAHADAT
Setelah kita mengetahui urgensi syahadat dala kehidupan maka perlu sekiranya kita mengetahui kandungan syahadat karena kandungan syahadat inilah yang menjadikan kengerian orang kafir seperti diungkapkan Amr bin hisyam (abu jahal) kepada nabi sekaligus ketenangan bagi kaum muslimin. Syahadat merupakan sebuah ikrar, sumpah dan janji yang diyakini dalam hati diucapkan oleh lisan dan diamalkan sesuai dengan rukun-rukun tang telah ditetapkan yang isinya tentang Tiada ilah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Kandungan Laa ilaha Ilallah sendiri adalah bahwa kita mengakui tidak ada pencipta, tidak ada pemberi rizqi, tidak ada penguasa, tidak ada yang memberi manfaat dan mudharat, tidak ada pengatur alam semesta ini, tidaka da pelindung, tidak ada hakim, tidak ada yang berhak memerintah dan melarang, tidak ada pembuat syariat, tidak ada yang ditaati an tidak ada yang pantas disembah serta diibadahi kecuali Allah, sedangkan kandungan Muhammadurosulullah adalah kita wajib taat dan mengambil suri teladan untuk kita realisasikan dalam kehidupan hanya kepada Nabi Muhammad.

KONSEKUENSI SYAHADAT
Kandungan syahadat diatas sudah barang tentu akan membawa konsekuensi yang antara lain :
1. Cinta dan Iman tanpa ragu-ragu
Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RosulNya kemudian tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan juwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (QS 49:15).
2. Jihad
segala kesaksian dan pernyataan tanpa bukti sesungguhnya hanyalah angan-angan. Bukti bahwa orang yang bersyahadat adalah dengan kerelaannya mengorbankan segala apa yang dia punyai baik harta maupun jiwa untuk menegakkan kalimat syahadat di muka bumi. Namun ini semua tak akan pernah terealisir kecuali dengan jihad (kesungguhan).
3. Alwala’ wal bara’
kalimat syahadat merupakan upaya pelepasan diri/penolakan terhadap semua Ilah (bara’) dan penisbahan diri menjadi seorang hamba hanya kepada Allah (wala’) sehingga konsekuensinya seorang yang telah bersyahadat harus berani menolak segala bentuk penghambaan kepada selain Allah dan segala kedzaliman. Selain itu dia harus tunduk, patuh dan loyal (setia) kepada Allah (QS 60:1).
4. Totalitas Islam
Allah tidak menghendaki ada penyekutuan terhadapNya karena Dia tidak menghendaki adanya parsialisasi Islam sebab dengan parsialisasi maka akan menggambarkan terbaginya cinta dimana hal inilah yang sangat dibenci Allah, dzat yang seharusnya paling dicinta (QS 9:24; QS 2:108).

DAMPAK SYAHADAT
Apabila syahadat telah menancap kuat pada diri kaum muslimin dan telah dia realisasikan melalui pemenuhan konsekuensinya maka kaum muslimin akan tumbuh sikap merdeka, mulia, tenang, aman, optimis, berani dan tawakkal. Selain itu akan turun barakah dari Allah dan akan mendapatkan kepemimpinan.

EPILOG
Sesungguhnya kehidupan ini adalah cobaan bagi manusia. Segala persoalan islam yanga da pada saat bini juga merupakan cobaan bagi kaum muslimin. Kita diuji bagaimana kita mampu mempertahankan tauhid dalam kehidupan kita. Kita dulu dihidupkan dengan syahadat dan mati pun seharusnya dengan syahadat (syahid) pula sehingga kita mendapatkan jannah Allah yang dijanjikan. Amiin


posted by Aang Fahruroji @ Friday, December 23, 2005

Khasanah Tarbiyah Dan Dakwah

AKHLAQUL KARIMAH SEORANG MUSLIM

BY : UKKI UNSOED TEAM

DEFINISI AKHLAQ ISLAMI
Akhlaq adalah ciri khas seorang muslim yang membedakan dirinya dengan yang lain. Akhlaq Islam yang tinggi dan mulia akan menjadikan generasi yang terbaik dalam peradaban manusia. Sehingga setiap muslim hendaknya menyadari ada perbedaan antara akhlaq dirinya dengan orang lain yang bukan muslim karena salah satu tugas Rasul di muka bumi adalah untuk menyempurnakan akhlaq manusia (QS.2:111, 68:4, 33:21).
Akhlaq pula yang mengidentifikasikan manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan binatang (QS.7:179) sehingga manusia yang dalam dirinya tidak terdapat akhlaq yang selayaknya dimiliki oleh manusia, maka ia bisa lebih kejam dari binatang.
Akhlaq yang baik adalah cerminan baiknya aqidah dan syariah yang diyakini seseorang. Buruknya akhlaq merupakan indikasi buruknya pemahaman seseorang terhadap aqidah dan syariah . Akhlaq juga merupakan buah dari ibadah (QS.29:45, 2:197).

“Paling sempurna orang mukmin imannya adalah yang paling luhur aqidahnya.” (H.R.Tirmidzi)

“Sesungguhnya kekejian dan perbuatan keji itu sedikitpun bukan dari Islam dan sesungguhnya sebaik-baik keislaman manusia adalah yang paling baik akhlaqnya.” (H.R.Thabrani, Ahmad dan Abu Ya’la)

“Tidak ada yang lebih bea timbangan seorang hamba pada hari kiamat melebihi keluhuran akhlaqnya.” (H.R.Tirmidzi)

“Seburuk-buruk umatku adalah orang yang banyak omong, bermulut besar dan berlagak pandai. Dan sebaik-baik umatku adalah mereka yang paling baik akhlaqnya.” (H.R. Bukhari)

Ciri Pribadi Muslim Bertaqwa sebagai Realisasi Akhlaq yang sempurna
1. Mencintai Alloh diatas segala kecintaan dan menjadikan cinta ini sebagai dasar untuk mencintai yang lain seperti Rasulullah, orang tua, dsb (QS.9:24)
2. Takut akan kemurkaan Alloh
3. Senantiasa mengharap Ridho Alloh SWT
4. Senantiasa merasa disertai Alloh dimanapun kita berada
5. Senantiasa mendekatkan diri kepada Alloh dalam berbagai keadaan

Contoh Akhlaq Seorang Muslim
1. Selalu memperkuat hubungan dengan Alloh
2. Menjaga diri dari hal yang sybhat (samar-samar/meragukan)
3. Menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan (QS. 24:30)
4. Istiqomah dalam kebenaran (QS.11:113)
5. Lemah lembut dan suka memaafkan (QS. 20:44)
6. Penuh cinta dan kasih sayang (QS. 9:128)
7. Benar, jujur dan tegas (QS. 33:70)
8. Tawadlu/rendah hati (QS. 26:215)
9. Jiwa yang siap berkorban (QS. 49:15)
10. Menyimpan rahasia
11. Menutupi aib orang lains
12. Menghormati yang tua dan menyayangi yang muda
13. Memenuhi janji
14. Tidak berteman dengan orang-orang yang buruk / ikut-ikutan
15. Tidak ghibah



Tata Krama yang berlaku umum untuk lelaki dan perempuan
1. Komunikasi antara keduanya harus dalam batas ucapan yang baik, tidak mengandung kemunkaran, tidak mengandung hal yang tidak bermanfaat,dsb (QS.33:12)
2. Menundukkan pandangan (QS.24:30-31) kecuali dalam hal pendidikan, kesehatan/kedokteran, jual beli, dan meminang.
3. Menghindari percampuran antat lawan jenis (ikhtilat)
4. Tidak berkhalwat / berduaan antara lawan jenis
5. Menghindari posisi syubhat yang memungkinkan munculnya pandangan negatif dari orang lain.

Tata Krama Khusus Wanita 1. Komitmen dengan pakaian syar’i / menutup aurat (QS. 24:31, 33:59)
2. Serius dalam berbicara / tidak mendayu-dayu (QS.33:32)
3. Wajar dalam melakukan gerak-gerik

Catatan untuk Tentor :
Permasalahan mengenai interaksi antara lawan jenis kadangkala menjadi hal yang dilematis terkait dengan relitas di lapangan. Maka dari itu, setiap tentor harus bijak dalam menjelaskan permaslahan ini, jangan sampai peserta mentoring merasa tertekan dan sebagainya. Bangun motivasi mereka untuk melakukan hal ini. Jelaskasn bahwa ketika kita mengaku sebagai seorang muslim dan mnyetakan diri kita sebagai orang yang beriman, maka mau tidak mau, konsekuensinya, kita harus melakukan aturan islam secara kaffah/sempurna. Tidak mengambil yang enaknya saja, dan meninggalkan yang lain.
Jelaskan pula bahwa permasalahan-permasalahan yang ada sebenarnya ujian dari Alloh untuk menguji keistiqomahan keimanan kita kepada Alloh. Dan selama kita bisa menjaga prinsip yang kita miliki yang sesuai dengan Islam, Insya Alloh, Allo0h akan memberi balasan yang besar kepada kita.

Cara Mencapai Akhlaq Mulia
1. Menjadikan iman sebagai pondasi dan sumber
Iman artinya percaya yaitu percaya bahwa Alloh selalu melihat segala perbuatan manusia. Bila melakukan perbuatan baik, balasannya akan menyenangkan. Bila perbuatan jahat maka balasan pedih siap menanti. Hal ini akan melibatkan iman kepada hari akhir. Akhlaq yang baik akan dibalas dengan surga dan kenikmatan (QS.55:12-37). Begitu pula dengan akhlaq yang buruk akan disiksa di neraka (QS. 22:19-22).

2. Pendekatan secara langsung
Artinya melalui Al-Qur’an. Sebagai seorang muslim harus menerima Al-Qur’an secara mutlak dan menyeluruh. Jadi, apa pun yang tertera di dalamnya wajib diikuti. Misalnya, Al-Qur’an melarang untuk saling berburuk sangka (QS.49:12), menyuruh memenuhi janji (QS.23:18),dsb

3. Pendekatan tidak secara langsung
Yaitu dengan upaya mempelajari pengalaman masa lalu, yakni agar kejadian-kejadian malapetaka yang telah terjadi tak akan terulangi lagi di masa kini dan yang akan datang.

Dari hal di atas, intinya adalah latihan dan kesungguhan. Latihan artinya berusaha mengulang-ulang perbuatan yang akan dijadikan kebiasaan. Kemudian bersungguh-sungguh berkaitan dengan motivasi. Motivasi yang terbaik dan paling potensial adalah karena ingin memenuhi perintah Alloh dan siksa-Nya.

REFERENSI :
Novi Hardian & Tim ILNA Learning Center. Super Mentoring
Kaderisasi UKKI UNSOED 2002. Silabus Materi PPAI UNSOED 2002
Abbas, Ziyad (ed.) , Pilihan Hadits Politik, Ekonomi dan Sosial, Pustaka Panjimas
Ali Hasyimi, Muhammad, Dr., Apakah Anda Berkepribadian Muslim? Hal 24-28, GIP
Yakan, Muna Hadad., Hati-hati terhadap Media yang Merusak Anak, hal 38-40, GIP
Isnet „Urgensi Akhlak 1“


posted by Aang Fahruroji @ Friday, December 23, 2005
0 Comments:

AYAT AL QUR’AN DAN HADITS TENTANG QURBAN

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah. (Qs. Al-Kautsar, 108: 2)

Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfa’at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang kesusahan lagi fakir. (Qs. Al-Hajj (22): 27-28)

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan Qurban supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka, maka Rabb-MU adalah Allah yang satu karena itu berserah dirilah kamu kepada-NYA. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh.” (Qs. Al-Hajj (22): 34)

Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri dan telah terikat. Kemudian apabila ia telah tumbang (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukan unta-unta itu kepada kamu, supaya kamu bersyukur. (Qs. Al-Hajj (22): 36)

Dari Aisyah ra sesungguhnya Nabi Saw bersabda: “Bahwa tidak ada amalan manusia pada hari raya adha yang lebih dicintai Allah SWT, selain mengalirkan darah hewan (maksudnya : menyembelih hewan qurban)” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi,… dan di katakan Hadits Hasan Ghorib (hadits hasan yang hanya punya satu riwayat)

“Tidak beriman kepada-Ku seorang yang tidur malam dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya lapar dan dia mengetahui” (HR. Bazzar dan Thabarani, Hadis Hasan)

Barangsiapa yang mempunyai keleluasaan (untuk berqurban) lalu dia tidak berkurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami”. (HR Imam Thahawi *)

*) Fath Al-Bari, Ibnu Hajar, jilid X, halaman 5, cet. Daar Ar-Rayyan liat Turats, dan beliau juga berkata dalam Bulughul Maram:

Namun para Imam mentarjihnya mauquf. (Bulughul Maram, bab: Adhahiy, No. 1349, bersama Ta’liq Al-Mubarakfuri, cetakan Jam’iyah Ihya At-Turats Al-Islami). Namun hadits ini tidak menunjukkan wajib menurut jumhur ulama, wallahu a’lam.

Dari hadits Mikhna bin Salim, bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian manusia atas setiap keluarga pada setiap tahun wajib ada sembelihan (udhiyah)”. (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa’i).

“Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang berqurban dengan seekor kambing untuknya dan keluarga-nya”. (HR Ibnu Majah dan AtTirmidzi dan dishahihkannya dan dikeluarkan Ibnu Majah semisal hadits Abu Sarihah dengan sanad shahih)

Catatan :

Waktu berqurban dimulai sejak tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah. Masa memotong qurban pada tanggal 10 disebut “Yaumul nahar” yaitu hari untuk menyembelih kurban. Sedangkan tanggal 11, 12, 13 dinamakan “yaumul tasyriq” Di luar waktu tersebut bila kita memotong hewan dinamakan sedekah. Maka kalau niatnya berkurban harus dilakukan padan waktu-waktu tersebut, yakni pada tanggal 10,11,12, dan 13 Dzulhijjah.

Subjek: Tambahan tentang Qurban

Keutamaan qurban dijelaskan oleh sebuah hadist A’isyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik amal bani Adam bagi Allah di hari Idul Adha adalah menyembelih qurban. Di hari kiamat hewan-hewan qurban tersebut menyertai bani Adam dengan tanduk-tanduknya, tulang-tulang dan bulunya, darah hewan tersebut diterima oleh Allah sebelum menetes ke bumi dan akan membersihkan mereka yang melakukannya” (HR. Tirmizi, Ibnu Majah)

Abu Hurairah yang menyebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka janganlah ia mendekati masjidku” (HR. Ahmad, Ibnu Majah).

Ini menunjukkan sesuatu perintah yang sangat kuat, jika tidak bisa dikatakan wajib.

Fiqih Qurban

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.” Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)

Pengertian Udh-hiyah

Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)


Keutamaan Qurban

Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)

Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (lih. Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)

Hukum Qurban

Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:

Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)

Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)

Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).

Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban

Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’, III/409)

Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).

Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.

Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?

Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.

Ketentuan Untuk Sapi & Onta

Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)

Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.

Arisan Qurban Kambing?

Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.

(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).

Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).

Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.

Qurban Kerbau?

Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.

Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.

Pertanyaan:

“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”

Beliau menjawab:

“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)

Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.

Urunan Qurban Satu Sekolahan

Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?

Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.

Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?

Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.

Umur Hewan Qurban

Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)

Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No.
Hewan
Umur minimal

1. Onta
5 tahun

2. Sapi
2 tahun

3. Kambing jawa
1 tahun

4. Domba/ kambing gembel
6 bulan
(domba Jadza’ah)


(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)

Cacat Hewan Qurban

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:

Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):
Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
Sakit dan tampak sekali sakitnya.
Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.

Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).

Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):
Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.

Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam

(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)

(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)

Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan

Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)

Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)

Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?

Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.

Apakah Harus Jantan?

Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)

Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.

Larangan Bagi yang Hendak Berqurban

Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).

Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?

Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:
Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)

Waktu Penyembelihan

Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)

Tempat Penyembelihan

Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).

Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)

Penyembelih Qurban

Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)

Tata Cara Penyembelihan
Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.

Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?

Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)

Pemanfaatan Hasil Sembelihan

Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
Dihadiahkan kepada orang yang kaya
Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.

Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378) Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)

Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?

Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)

Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.

Jawaban Lajnah:

“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)

Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).

Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.

(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.

Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan

Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:

من باع جلد أضحيته فلا أضحية له

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)

Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.

Catatan:
Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.

Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)

Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).

Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)

Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?

Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:

Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”

Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.

(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit

Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.

Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:
Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).

Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?

Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380

Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.

Wallaahu waliyut taufiq.

Bagi para pembaca yang ingin membaca penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan silakan baca buku Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah, penerbit Media Hidayah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi amal yang diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.

Yogyakarta, 1 Dzul hijjah 1428

Keutamaan Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah

Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما من أيّام العمل الصّالح فيها أحبّ إلى اللّه من هذه الأيّام – يعني أيّام العشر – قالوا : يا رسول اللّه ولا الجهاد في سبيل اللّه ؟ قال : ولا الجهاد في سبيل اللّه ، إلاّ رجل خرج بنفسه وماله ، فلم يرجع من ذلك بشيء.

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)

Berdasarkan hadis tersebut, ulama’ sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)

Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.

Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?

Terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu’ 2/107), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).

Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas maka diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hissamuddin ‘Affaanah). Wallaahu a’lam.

***

Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id
Artikel ini merupakan tulisan yang melengkapi artikel tentang Fiqh Qurban yang ditulis Al Akh Al Fadhil Abu Mushlih Ari Wahyudi