Rabu, 07 Maret 2012

Medali Pemberian Khalifah Utsmani kepada Sultan di Jambi

Medali Pemberian Khalifah Ustmani Kepada Utusan Sultan Thaha Syaifuddin dari Jambi
Posted by Admin on 12/04/2011 08:59:00 PM in Headline, Jejak Khilafah, seputar khilafah | 0 komentar

Museum Negeri Jambi banyak menyimpan benda bersejarah . Menurut data yang ada koleksi benda-benda bersejarah Museum Negeri Jambi berjumlah sekitar 2.855 buah. Medali emas bersegi tujuh dari Turki (Khilafah Utsmaniyah ) ini merupakan salah satu dari lima koleksi utama yang menjadi icon museum selain 2 buah arca Avolokiteswara yang terbuat dari emas, , sabuk emas dan kalung emas. Medali bersegi tujuh ini berbentuk seperti matahari terbit dengan dihiasi tujuh buah bintang dan bulan sabit kecil di sekelilingnya.


Di tengah medali, terdapat bundaran warna merah, bertuliskan huruf Arab. Salah satunya adalah angka yang menunjukkan tahun, yaitu 1298 H. Diduga, itu merupakan tahun disaat medali itu diserahkan Khalifah sebagai cinderamata ungkapan tanda pertukaran,cinta dan pujian kepada Utusan Sulthan Thaha Syaifuddin selaku Raja Jambi Kerajaan Jambi pada masa itu yang datang meminta bantuan kepada Khalifah untuk melawan Penjajah Belanda dari Jambi. Terdapat juga bintang dan bulan sabit (seperti di atas kubah masjid) berukuran lebih besar yang merupakan penyatu antara medali dengan rantai. Di rantai itu terdapat enam buah keping bundaran. Pada kepingan itu juga terlihat tulisan Arab.

Sebelumnya, medali tersebut disimpan oleh keluarga kerajaan yang berdiam di Malaysia yang kemudian menyerahkannya kepada pengelola Museum Negeri Jambi untuk dipajang sebagai koleksi museum. Medali itu diberikan Khalifah di Turki kepada utusan Sultan Thaha yang meminta bantuan ke Turki (pusat Kekhilafahan Islam kala itu). “Waktu itu penjajah Belanda kian agresif menyerang Jambi. Maka Sultan Thaha pun meminta bantuan ke Turki. Permintaan bantuan ke Turki ini tentu saja memiliki alasan. Secara histori raja-raja Jambi yaitu Datuk Paduka Berhala memiliki pertalian darah dengan keturunan Turki. “Selain itu, karena di masa itu Turki dianggap sebagai pusat Islam yang sudah maju. Di antara utusan tersebut sepulangnya dari Turki, tidak seluruhnya sampai ke Jambi. Di antara mereka ada yang tidak sampai, karena khawatir tertangkap Belanda. Lalu mereka menetap di Batu Patah, Johor Bahru, Malaysia. (seperti yang dituturkan Ujang Hariadi, Kepala Museum Negeri Jambi dan Kasi Koleksi Dafril Nelfi kepada Jambi Independent)

Berdasarkan penelusuran, akhirnya medali yang sempat berada di Malaysia dan dipegang oleh keturunan utusan Sultan Thaha berhasil dibawa ke Jambi. Menurut Ujang dan Dafril sudah sekitar 3 tahun medali itu menjadi koleksi Museum Negeri Jambi. Sayangnya, secara pasti Ujang tidak mengetahui bagaimana penulusuran itu hingga mendapatkan medali tersebut.

Hubungan historis antara Khilafah Islamiyah dengan para penguasa atau sultan di Nusantara khususnya wilayah Sumatera sudah lama terjalin erat dan harmonis. Bahkan dalam perkembangan penelitian Sejarah Islam di Nusantara diyakini bahwa Islam sudah masuk wilayah Nusantara ini adalah pada abad ke-7 bukan abad ke-13!

Beberapa lembar fakta sejarah terbaru terhadap jejak penerapan syariah di Nusantara khususnya wilayah Sumatera telah mencatat dengan jelas dan otentik mengenai jalinan kerjasama para Sultan dengan Khilafah Islamiyah. Pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman pernah mengirim surat kepada khalifah Umar bin abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayah meminta dikirimkan da’i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya.

Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukum-Nya.”

Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama 'Sribuza Islam'. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.

Demikian juga halnya di Tanah Jawa. Hubungan antara Khilafah dengan Tanah Jawa terkait dengan penyebaran Islam juga tidak dapat kita ragukan lagi kebenarannya. Karena kehadirannya begitu jelas dan nyata. Masuknya Islam di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari Khilafah Utsmaniyah, Sultan Muhammad I sebagai Khalifah pada masa itu telah mengutus secara bergelombang dai-dai ke tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Tersebutlah Maulana Malik Ibrahim (pakar tata negara Turki), Syaikh Jumadil Kubro-Mesir (dimakamkan di komplek Trowulan), Syaikh Maulana Israil, Syaik Ahmad Subakir, Syaikh Samarkand (Asmarokondi), dsb. Dilanjutkan gelombang kedua yang dikenal dengan Wali Songo, diantaranya Sayyid Ja’far Shodiq Al Quds (Sunan Qudus/Ahli Militer) dan Syarif Hidayatullah.

Fakta-fakta sejarah lain yang menggambarkan hubungan antara Nusantara dengan Khilafah Islamiyah :
- Pasukan khilafah Turki Utsmani tiba di Aceh (1566-1577) termasuk para ahli senjata api, penembak dan para teknisi. untuk mengamankan wilayah Syamatiirah(Sumatera) dari Portugis. Dengan bantuan ini Aceh menyerang Portugis di Malaka.
- Kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajarkan cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani. Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi.
- Pengakuan terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz.
- Deureuham adalah mata uang Aceh pertama yang diambil dari bahasa Arab dirham. Beratnya 0,57gram kadar 18 karat diameter 1 cm, berhuruf Arab di kedua sisinya.
- Keterkaitan Nusantara atau wilayah Sumatera sebagai bagian dari Khilafah kian nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra Pasai Darussalam oleh utusan Syarif Mekkah. Syarif Mekkah saat itu berwenang sebagai wali (setingkat gubernur) di dalam sistem kekhilafahan Islam.
- Gelar Sultan Kesulatanan Islam di nusantara dinyatakan sah apalbila telah ditetapkan oleh Syarif Makkah. Syarif Makkah adalah pejabat Khilafah Utmaniah setingkat wali/ Gubernur yang diberi kewenangan mengangkat para Sultan.Pada era kolonialisme gelar Sultan amat sangat ditakuti Belanda. Karenaya tidak mengherankan jika Pangeran Diponegoro menyematkan gelarnya: “Senopati Ing Alogo Sultan Abdul Hamid Erucokro Amirul Mukminin Tanah Jowo Sayidi Panotogomo”. Sultan Abdul Hamid adah nama Khalifah Utmaniyah dan Erucokro adalah Sultan Mataram saat itu.

Jadi merupakan suatu sikap ahistoris menolak penerapan Syariah Islam dan Khilafah di negeri ini karena sudah teramat banyak ditemukan sejumlah bukti sejarah yang mengungkapkan hubungan yang sangat erat antara Khilafah Islamiyah dengan sejarah masuknya Islam di negeri ini.

Jejak penerapan syariah dan jalinan kerjasama Kesultanan Islam di Nusantara dengan Khilafah Islam diatas sepantasnya tak hanya sekedar menjadi romantisme sejarah atau nostalgia indah. Pembelaan Khalifah kepada muslim yang didzholimi pun telah terbukti. Karena Para Khalifah ini memahami apa yang dikatakan Baginda Nabi SAW -dari Imam Muslim dari al-A’raj dari Abu Hurairah- : “Sesungguhnya imam (khalifah) itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (bandingkan dengan penguasa negeri-negeri Muslim saat ini yang berdiam diri terhadap kedzholiman yang dialami saudara-saudara mereka di Palestina, Pakistan, Irak, Afghanistan, Moro, Uighur, Uzbekistan dll yang telah dibantai oleh musuh-musuh Alloh dan Rasul-Nya)

Kedamaian dan kesejahteraan yang pernah terwujud di lintasan sejarah penerapan syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah ini pun telah diungkapkan secara jujur oleh Will Durant seorang sejarawan Barat :

"Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, dimana fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastra, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad".

Apa lagi yang kita cari? Sudah teramat lama Islam dan Umat Islam dihinakan, Nabi kita dilecehkan, Al Quran kita disingkirkan, Hukum-hukum Alloh dianggap ketinggalan zaman.

Sesungguhnya kedamaian, kesejahteraan dan kemuliaan umat Islam hanya akan didapat ketika kita mengembalikan Islam sebagai sebuah ideologi yang menjadi landasan berpikir kita, menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai standar baik dan buruk, halal dan haram, mewujudkan Islam sebagai peraturan dalam mengatur segala aspek kehidupan baik dalam ranah individu, masyarakat maupun bernegara.
Dan semuanya itu hanya bisa diterapkan ketika umat Islam diatur oleh Syariah di bawah Naungan Khilafah. Insya Alloh,masa itu telah semakin mendekat.

Sebagai bahan renungan,mari kita renungkan kata-kata yang indah dari Sahabat yang mulia,Umar bin Khatthab semoga Alloh SWT merahmatinya,“Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah Ta’ala memuliakan kita dengan Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selain Islam ini, pasti Allah Ta’ala akan menjadikan kita hina dan rendah”. Wallahu a’lam bi ash shawwab.. []

oleh: Syabab HTI

Referensi :
1) Harian Jambi Independent tanggal 28 September 2007
2) http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Medali-khalifah-2.jpg
3) http://hizbut-tahrir.or.id/2007/09/05/medali-dari-khalifah-ustmani-buat-sultan-jambi/
4) http://www.wisatamelayu.com/id/tour/426-Museum-Negeri-Jambi/navgeo
5) Sunanto, Musyrifah : Sejarah Peradaban Islam, 2005, Rajawali Press, hal 6
6) http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia
7) Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Kesultanan, hal 52-53
8) Will Durant, The Story of Civilization, vol. XIII, hal. 151
9) Imam Al Hakim al-Nishaburi, Al Mustadrak I/130




Raih amal shalih, sebarkan informasi ini....


Artikel Terkait lainnya
Headline
Amerika Serikat Tersungkur, Uni Eropa Terseok-seok, Indonesia?
Siapa Kelompok Radikal dan Ekstrim di Indonesia?
Wadî’ah
Pengkhianatan Rezim Assad
Indonesia Tanpa Sepilis: Membongkar Makar Ideologi AS dan Kaki Tangannya (2)
Historis Liberalisasi Migas dan Implikasinya
Jejak Khilafah
Hubungan Perjuangan Melawan Penjajah Belanda di Indonesia dengan Khilafah Islam
Sejarah Para Khalifah: Abdul Hamid II, Sang Penentang Demokrasi
Abdurrahman al-Ghafiqi Nyaris Menaklukkan Seluruh Eropa
Khilafah Pernah Ada di Indonesia
Angkatan Udara di Era Khilafah Utsmaniyah
seputar khilafah
Pencalonan Diri dalam Khilafah
14 Penemuan Islam Terpenting
Khalifah Peduli Rakyat
Tanggung Jawab Negara Khilafah Melahirkan Generasi Islami
Syariat Islam dalam Pemberantasan Korupsi

Hubungan Perjuang Islam Indonesia dengan khalifah Islam

Hubungan Perjuangan Melawan Penjajah Belanda di Indonesia dengan Khilafah Islam
Posted by Admin on 10/20/2011 07:36:00 PM in Headline, Jejak Khilafah, Jejak Syariah, seputar khilafah | 0 komentar
Sudah menjadi rahasia umum di kalangan orang/pejabat Belanda bahwa banyak sultan-sultan di Indonesia memberikan baiatnya (sumpah kesetiaan dan kepatuhan) kepada Khalifah di Istanbul. Dengan itu secara efektif kaum Muslim di wilayah Sultan itu menjadi warga negara Khilafah [Negara Islam].

Kaum Muslim di Aceh adalah yang paling menyadari akan status mereka. Koran Sumatera Post menulis tentang ini pada tahun 1922: “Sesungguhnya kaum Muslim Aceh mengakui Khalifah di Istanbul.”

Bukan hanya itu, mereka juga mengakui fakta bahwa tanah mereka adalah bagian dari Negara Islam. Ini adalah salah satu alasan atas perlawanan sengit mereka melawan Belanda. Sebagaimana yang diakui Koran Sumatra Post tahun 1922: “Pada hari ini, serangan-serangan atas kami menjadi hal penting karena merupakan sikap mentalitas atas ide Perang Suci.”

Pan-Islamisme: Konsulat Belanda di Konstantinopel telah memperingatkan pemerintah bahwa utusan rahasia Kaum Muhammedan telah dikirim dari Turki ke Indonesia yang dikuasai, dengan tugas memotivasi orang-orang Islam (untuk memberontak).

“Pan-Islamisme: Konsulat Belanda di Konstantinopel telah memperingatkan pemerintah bahwa utusan rahasia Kaum Muhammedan telah dikirim dari Turki ke Indonesia yang dikuasai, dengan tugas memotivasi orang-orang Islam (untuk memberontak).” Ini adalah artikel Koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, tanggal 11 November 1912.


Ada kontak teratur antara kaum Muslim Aceh dan Khalifah di Istanbul. Sebagai contoh, kaum Muslim Aceh mengirim delegasi kepada Khalifah untuk memberitahu situasi mereka dan meminta bantuan dan dukungan Khalifah. Pada tahun 1915, Sumatera Post kembali menyebutkan satu delegasi tersebut, yang dikirim ke Istanbul pada tahun 1868:

Yang lebih penting adalah kontak langsung antara penduduk asli Aceh dan pemerintah Turki. Tidak kurang dari 68 orang bangsawan memohon kepada Khalifah selama tahun 1868 untuk ‘membebaskan mereka dari perbudakan asing, yakni dari orang Belanda. Karena, mereka mengatakan, ‘hal ini semakin besar dan semakin berbahaya dari hari ke hari, dan pada saatnya mereka akan mengendalikan seluruh Aceh’. Karena itu, mereka, orang-orang Aceh itu, meminta ‘dikirimkan tentara dan prajurit, dan mengumumkan kepada semua orang-orang asing bahwa kami (orang-orang Aceh) berada di bawah perlindungan dan merupakan warga negara Khalifah’.

Namun, Khalifah hanyalah satu sisi rakyat Aceh. Koran Nieuw Tilburgsche Courant melaporkan pada tahun 1899 bahwa Negeri Islam Al-Khilafah memberikan pendidikan kepada putra-putra Sultan, untuk mendukung perlawanan mereka melawan Belanda:

Selama beberapa hari terakhir seorang koresponden di Constantinopel melaporkan lagi bahwa tujuh anak bangsawan sudah tiba di sana dan telah diperkenalkan kepada menteri pendidikan, karena mereka akan mengambil pendidikan tinggi. Kaum Muslim dari Jawa telah mengirimkan kepada Sultan (Khalifah) surat ucapan terima kasih karena mengambil anak-anak mereka untuk bisa pergi ke sekolah-sekolah di Negeri (Islam) Sultan itu. Sebagai konsekuensinya, sudah empat belas pemuda dari Indonesia yang dikuasai Indonesia telah menerima pendidikan Islam yang ketat, yang sepenuhnya dibiayai oleh Sultan Constantinopel. Setelah mereka kembali ke tanah air mereka, setelah menimba ajaran Islam akan menjadi pejuang yang alami bagi Quran, untuk melawan ‘anjing-anjing Kristen’ yang memerintah negara mereka.

Khalifah juga mengirimkan perwakilannya ke Indonesia untuk mendukung kaum Muslim. Koran Het Nieuws van den Dag, misalnya, melaporkan tentang seorang konsul dari Khalifah di Batavia bahwa dia mendukung gerakan pan-Islam: “Di Indonesia hanya ada satu konsul, yakni di Batavia, dan dia telah menunjukkan antusiasme yang besar bagi pan-Islamisme. Oleh karena itu, pemerintah memintanya untuk diganti.”

Koran yang sama menginformasikan pembacanya pada tahun 1912 bahwa Khalifah mengirimkan misi rahasia ke Indonesia untuk mendukung kaum Muslim Indonesia: “Konsul Belanda di Konstantinopel telah memperingatkan pemerintah bahwa utusan rahasia Muhammedan telah dikirim dari Turki ke Indonesia yang dikuasai Belanda, dengan tugas memotivasi orang-orang Islam (untuk memberontak).”

Kerjasama juga terjadi sebaliknya. Tatkala Khalifah mengambil keputusan untuk membangun jalur kereta api Hejaaz, Koran Het Nieuws van den Dag mengatakan pada tahun 1905:

Raja Boni telah memberikan 200 Poundsterling untuk mendukung pembangunan jalur kereta api Hejaaz ke tempat-tempat suci agama Islam. Pada saat yang sama, utusan itu menyerahkan kepada (Khalifah) surat penguasa Boni, di mana ia meminta dukungan Khalifah bagi dirinya sendiri dan sekutunya, atas kesulitan mereka dengan para penguasa Belanda.

Pan-Islamisme di provinsi Timur kami: Raja Boni telah memberikan 200 Poundsterling untuk mendukung pembangunan jalur kereta api Hejaaz ke tempat-tempat suci agama Islam

“Pan-Islamisme di provinsi Timur kami: Raja Boni telah memberikan 200 Poundsterling untuk mendukung pembangunan jalur kereta api Hejaaz ke tempat-tempat suci agama Islam“. Ini adalah artikel di Koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, tanggal 17 Juli 1905.

Karena hubungan erat antara kaum Muslim Indonesia dan Negara Islam Al-Khilafah, para analis di Belanda mulai khawatir ketika Inggris dan Prancis (antara lain) mulai melakukan kejahatan terhadap kaum Muslim Negara Islam: “Aku takut bahwa kaum Mohammedans kami akan merasakan ketidakadilan yang sedang dilakukan sekarang. Pemberontakan dan ketidakpuasan akan meningkat, baik di Belanda maupun Indonesia.” [Idris De Vriest , aktfis dakwah Belanda ]